Pasuruan, Poskini.com – Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Beji, Pasuruan, kini tengah menjadi sorotan publik setelah mencuatnya isu penarikan iuran infaq sebesar Rp750.000 per siswa.
Iuran ini, yang menurut komite sekolah bersifat sukarela, disebut-sebut normatif dan diperlukan untuk kebutuhan operasional sekolah. Namun, hal ini justru menimbulkan polemik, dengan tudingan bahwa praktik tersebut merupakan bentuk pungutan liar (pungli) yang berkedok infak.
Dugaan adanya praktik pungli ini terungkap setelah tim Kompasone.com menerima laporan dan keluhan dari sejumlah wali murid yang merasa dirugikan. Mereka menuding adanya perilaku koruptif dari oknum yang tidak bertanggung jawab di lembaga pendidikan milik pemerintah ini.
Praktik semacam ini jelas mencederai nilai-nilai antikorupsi yang seharusnya ditanamkan sejak dini di lingkungan sekolah.
Seorang wali murid yang sangat kesal, yang meminta namanya dirahasiakan, menuturkan, "Ini benar-benar tidak masuk akal! Sekolah seharusnya menjadi tempat yang bersih dari segala bentuk korupsi, tapi justru di sini kami seolah-olah dipaksa membayar sejumlah uang yang tidak sedikit dengan alasan infaq.
Jika benar ini untuk kebaikan sekolah, mengapa jumlahnya harus sebesar itu dan kenapa tidak ada transparansi? Ini sudah kelewatan."
Meski pihak komite sekolah telah memberikan klarifikasi bahwa iuran infaq tersebut telah melalui musyawarah yang melibatkan perwakilan orang tua siswa, banyak pihak tetap meragukan keabsahan proses tersebut.
Ketua komite sekolah SMPN 1 Beji, yang kini menjadi sorotan, menyatakan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk berbagai kebutuhan sekolah yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.
"Kami tidak memaksa, ini sifatnya sukarela dan sudah disepakati bersama. Iuran ini untuk kebaikan bersama, agar sekolah dapat memberikan layanan pendidikan yang lebih baik," ujar oknum ketua komite sekolah tersebut.
Namun, tanggapan ini tidak meredakan kemarahan para wali murid. Mereka menegaskan bahwa praktik ini melanggar peraturan, termasuk Permendikbud No. 44 Tahun 2012 dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016, yang melarang pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya.
Komite sekolah memang diizinkan menggalang dana, tetapi tanpa menentukan jumlah yang harus dibayarkan, sehingga penetapan angka Rp750.000 ini dianggap menyalahi aturan.
"Jika memang sukarela, kenapa ada jumlah yang ditentukan? Apakah ini hanya dalih untuk membenarkan pungutan liar?" tegas salah satu wali murid yang merasa diperlakukan tidak adil.
Para wali murid juga menuntut transparansi penggunaan dana tersebut dan mendesak agar pihak sekolah memberikan laporan rinci terkait alokasi dana infaq. Mereka berharap ada solusi bagi mereka yang tidak mampu membayar penuh jumlah tersebut tanpa harus merasa tertekan atau dipaksa.
Kasus ini mengungkapkan tantangan serius yang dihadapi banyak sekolah dalam mengelola kebutuhan operasional dengan anggaran yang terbatas.
Diperlukan komunikasi yang lebih terbuka antara sekolah, komite, dan orang tua siswa untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar mewakili kepentingan seluruh pihak yang terlibat.
Pihak SMPN 1 Beji hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi terkait polemik ini, namun diharapkan segera memberikan klarifikasi yang transparan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tidak merugikan para wali murid.
Muh